Fenomena Golput Pada Saat pemilu
Selamat siang / malam semua. Pada kesempatan
ini saya akan membahas tentang salah satu peristiwa yang berkaitan dengan bab
ke-9 mata pelajaran Pendidikan Kewarganegaraan tentang “Mencermati Potret
Budaya Politik Masyarakat Indonesia” yaitu Fenomena Golput. Sebelum membahas peristiwa yang berkaitan
dengan bab ini, sebelumnya saya akan membahas tentang aktifitas suatu kelompok
masyarakat.
Aktifitas suatu kelompok masyarakat selalu
menggambarkan budaya yang dimiliki oleh masyarakat tersebut. Ketika kita
bertemu dengan seorang dari kelompok masyarakat yang berbeda dengan kita, maka
kita akan dapat langsung menyimpulkan budaya dari masyarakat tersebut. Mengapa
demikian? Karena kebudayaan tercemin salah satunya dalam perilaku manusia pada
aspek kehidupan termasuk aspek politik.
Nah, Budaya politik merupakan bagian dari
kebudayaan masyarakat dengan ciri-ciri yang lebih khas. Istilah budaya
politik meliputi masalah legitimasi, pengaturan kekuasaan, proses
pembuatan kebijakan pemerintah, kegiatan partai-partai politik, perilaku
aparat negara, serta gejolak masyarakat terhadap kekuasaan yang memerintah.
Hakikat budaya politik sendiri merupakan pola
perilaku masyarakat terhadap suatu sistem politik. Dalam setiap
masyarakat, terdapat budaya politik yang
menggambarkan pandangan mereka mengenai proses politik yang berlangsung di lingkungannya sendiri,
tingkat kesadaran untuk berpartisipasi dalam berpolitik-pun berbeda beda.
Secara umum, budaya politik terbagi atas:
1. Budaya politik apatis
(acuh tak acuh / pasif)
2. Budaya politik
mobilisasi (dipaksakan/ didorong)
3. Budaya politik partisipasi
(aktif)
Mengenai budaya politik, salah satu peristiwa
yang berkaitan dengan budaya politik adalah “Golput Pada saat Pemilu”.
Peristiwa ini sangat sering terjadi ketika pemilihan umum. Contohnya saat di
Banda Aceh pada tahun 2014.
Peristiwa yang terjadi satu tahun yang lalu ternyata tidak dimanfaatkan oleh sebagian masyarakat Kota Banda Aceh
yang terdaftar sebagai pemilih. Dari pantauan langsung tim Serambi di beberapa
tempat pemungutan suara (TPS) di Banda Aceh, masih banyak warga yang tidak
menggunakan hak suaranya alias golongan putih (golput). Bahkan, di salah satu TPS, jumlah warga yang golput
mencapai 50 persen lebih. Kemungkinan jumlah warga yang golput mencapai
seribuan atau bahkan lebih. Menurut laporan dari TPS, daftar Pemilih Tetap
(DPT) Kota Banda Aceh tahun ini berjumlah 159.213 orang, yang tersebar di 436
TPS. Data diperoleh Serambi dari tiga TPS berbeda di Banda Aceh, yaitu TPS
Gampong Beurawe, TPS Lampriet, dan TPS Lamdingin, DPT berjumlah 1.117 orang. Dari
jumlah itu, yang menyalurkan hak suaranya sebanyak 624 orang, sementara 493
orang lagi golput.
Di TPS 1 Gampong Beurawe, Kecamatan Kuta Alam, Banda Aceh misalnya,
warga yang tidak memilih mencapai 50 persen lebih. Dari jumlah DPT 411 orang,
hanya 183 yang memilih, sedangkan 228 orang lagi golput.
Menurut saya, golput
bukanlah solusi dan tidak ada manfaatnya. Mungkin beberapa alasan masyarakat
memilih golput, antara lain masyarakat sudah tidak percaya lagi terhadap partai
politik dan para caleg serta pejabat lainnya.
Masyarakat
tidak percaya lagi karena partai dan caleg sudah sering mengkhianati amanah
rakyat. Setelah mereka menjadi anggota legislatif, mereka lebih mengutamakan
kepentinhan individu dan kelompok partainya, dibandingkan kepentingan rakyat.
Ditambah lagi pembangunan-pembangunan yang tak kunjung selesai dan dana
anggaran yang banyak diambil untuk kepentingan sendiri.
Mantan Ketua KIP Aceh
berpendapat bahwa secara logika dia melihat itu wajar dan itu sebagai bentuk
penghukuman kepada partai. Bahkan masyarakat pun tidak mau lagi pergi ke
kampanye, karena apa yang mereka (partai dan caleg) sampaikan dalam kampanye
berbeda dengan kenyataan yang ada.
Kesimpulannya, golput
bukanlah sebuah pilihan dan akan rugi jika kita memilih golput. Satu suara yang
kita sumbangkan sangatlah berarti dan sangat berpengaruh terhadap kemajuan budaya
politik di Indonesia. Rakyat Indonesia
harus berpikir cerdas. Meskipun dari segi politis bahwa golput tidak
berpengaruh terhadap proses pelaksanaan pemilu. Namun semakin rendah
partisipasi pemilih, semakin rendah legitimasi politik terhadap pemilu dan
hasilnya.